Rabu, 20 Oktober 2010

KURIKULUM YANG MENCERDASKAN



KURIKULUM YANG MENCERDASKAN

Politik Pendidikan Indonesia
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat tujuan dibentuknya Pemerintahan Indonesia , bukan hanya menjamin terlindungnya hak-hak asasi manusia warga Negara, tetapi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan, termasuk factor yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama ekonomi. Pendidikan merupakan unsur yang paling strategis bagi pembangunan suatu negara. Bila suatu negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya, negara tersebut tidak akan dapat mengembangkan apapun, baik sistem politik yang modern, rasa kesatuan bangsa, maupun kemakmuran. Kondisi Indonesia yang setelah 65 tahun masih belum menunjukkan kehidupan bangsa yang cerdas, yang maju kesejahteraan rakyatnya.

Konsepsi ideal pendidikan nasional Indonesia, menurut Y.B. Mangunwijaya, sebenarnya sudah dilaksanakan pemerintah pada zaman Revolusi Fisik hingga tahun 1965/1966. Akan tetapi, perkembangan peta kekuasaan di Indonesia ternyata menjauhkan konsepsi ideal itu. Pendidikan di Indonesia dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan jaring pengamanan (safety net) bagi pelestarian kekuasaan.
Pada masa ini, kebijakan pendidikan menyangkut tujuan pendidikan, kurikulum, buku pelajaran, ujian akhir, manajemen sekolah, dan lain-lain, sentralistis alias ditentukan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Karena hampir semua komponen pengajaran ditentukan pemerintah pusat, guru berperan hanya sebagai penatar atau pawang tanpa kebebasan berkreasi dan bereksperimen.
Guru juga menjadi aktor sentral pembelajaran, murid pendengar pasif. Substansi dan makna pendidikan direduksi menjadi sekadar pengajaran, dan makna pengajaran terbatas sebagai drilling dengan metode belajar hafalan dan ujian pilihan ganda sehingga aspek penalaran siswa tidak terasah dan teruji. Sistem perankingan memacu persaingan yang mematikan solidaritas antarsiswa dan meningkatkan kehausan untuk mengalahkan pihak lain.
Sejumlah mata pelajaran, seperti sejarah, sering berisi informasi yang kadar kebenrannya sepihak versi pemerintah, dan dijadikan alat propaganda ideologi pemerintah.
Meskipun dalam rentang sekitar 30 tahun jumlah sekolah dasar meningkat kira-kira 300 persen, namun pemerataan akses tidak otomatis tercapai karena kurikulum dan kebijakan pendidikan justru kian elitis. Biaya pendidikan menjadi terlalu mahal bagi banyak orang tua sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Dan sebagainya ....

Kurikulum KBK dan KTSP
Di tengah pengapnya kritik pembaruan pendidikan, tahun 1996 pemerintah meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP membuka ruang partisipasi kreatif guru dan pengelola sekolah dalam penjabaran rencana, metode, dan alat-alat pengajaran. Standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar kurikulum masih ditentukan pemerintah pusat, tetapi kontekstualisasi detailnya diserahkan kepada pengelola sekolah dan guru. Dengan diversifikasi ini, pengelola sekolah dan guru dapat secara kreatif dan kontekstual mempraktikkan konsepsi ideal mereka tentang proses pembelajaran.
Kemunculan KTSP sebenarnya sudah terendus dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, persisnya Pasal 36 ayat 2. Juga apa yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang diluncurkan 2 tahun sebelum KTSP, secara eksplisit telah diamanatkan pada bagian penjelasan umum UU No 20/2003.
Ada pendapat, KTSP menggantikan KBK. Kiranya pendapat ini tidak tepat. Baik KTSP maupun KBK diamanatkan produk hukum yang sama, yakni UU Sisdiknas 2003. Mungkinkah suatu butir ketentuan hukum dalam sebuah produk hukum menegasikan butir ketentuan lain dalam produk hukum yang sama? Lagi pula, jika batasannya dicermati, tampak bahwa KTSP mengatur distribusi kewenangan penjabaran metode (perencanaan) pembelajaran kepada sekolah dan guru, sedangkan KBK memandu arah atau orientasi akhir penjelasan. Jadi, KTSP dan KBK justru saling melengkapi.
Yang menarik diamati, KTSP dan KBK menekankan pentingnya partisipasi kreatif guru dan proses belajar yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Guru ditantang menciptakan suasana belajar yang kontekstual dengan lingkungan alam-sosial murid. Selain itujuga ditekankan, suasana belajar harus menyenangkan. Proses belajar harus interaktif, inspiraktif, menantang, dan memotivasi peserta didik, memberi ruang bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat, minat, fisik dan perkembangan psikologis peserta didik.
Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini dinanti.
Pemberian kebebasan kepada sekolah dan guru ini bukan tanpa persoalan. Umumnya para guru yang memang tidak dipersiapkan untuk menyusun kurikulum, tidak cukup memiliki kompetensi dan kreativitas dalam menyiapkan kurikulum dan segenap perangkat pembelajaran. Belum lagi masih ada tuntutan ujian nasional di tengah disparitas mutu, kualitas guru, dan sarana prasarana belajar yang sangat tajam antar daerah.
Seharusnya semangat KTSP seperti dijelaskan di atas menjadi semangat pembaharuan yang diusung gagasan-gagasan pendidikan alternatif selama ini. Yakni, guru adalah pendidik, bukan instruktur atau pawang. Pembelajaran harus kontekstual dan menyenangkan bagi murid. Suasana harus diciptakan agar murid aktif, kreatif, eksploratif. Dan seterusnya .......
Jelaslah, model-model dan semangat pembelajaran yang dulu termasuk kategori alternatif kini mulai menjadi mainstream. Sejumlah kalangan optimis, jika terlaksana dengan baik sesuai tujuannya, berbagai pembaharuan kurikulum tersebut akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dalam satu dan lain aspek.
Meskipun demikian, selalu ada persoalan . Saat KBK diluncurkan, kesiapan guru diragukan. Ketika KTSP diberlakukan, sama. Masih banyak guru yang bingung harus berbuat apa saat KTSP diterapkan. Teorinya memang mudah, tetapi praktiknya sulit. KTSP dipandang membebani guru. Ia dirasakan membingungkan karena meskipun menekankan proses belajar-mengajar kreatif, evaluasinya melalui Ujian Nasional tetap menitikberatkan hasil. Masalah-masalah teknis tersebut dihadapi para praktisi.
Kurikulum KTSP sekarang mulai dipertanyakan, Apakah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang ini merupakan kurikulum yang mencerdaskan ataukah justru sebaliknya? Siapa yang harus lebih dulu dicerdaskan : siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, ataukah siapa? Bagaimana mengukur peningkatan kecerdasan itu? Yang jelas para guru sedang sibuk bergelut dengan KTSP. Ada yang jatuh bangun menyusun atau mengembangkan sendiri setelah membaca berbagai sumber, ada yang sibuk bertanya ke berbagai sumber, tidak kurang yang sekadar menunggu perkembangan dalam arti nanti tinggal mencontoh saja (copy paste), pun tidak sedikit yang selalu binggung dan binggung dan akhirnya tidak berbuat apa-apa.
Sumber :
Soedijarto. 2007. Pendidikan yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia.
Agus Suwignyo. 2007. Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar